Mencermati keterwakilan perempuan dalam perpolitikan Indonesia

Mencermati keterwakilan perempuan dalam perpolitikan Indonesia

Jakarta (Antara) – Mendekati pemilihan umum 2024, urgensi keterwakilan perempuan dalam perpolitikan tanah air menjadi salah satu aspek krusial yang tidak bisa diabaikan oleh publik.

Direktur Eksekutif Association for Elections and Democracy (AERLDEM) Khoaronisa Nur Agustiati mengatakan, upaya mendorong keterwakilan perempuan dalam politik sudah dilakukan sejak lama.

Apalagi usaha ini masih harus diperjuangkan hingga saat ini.

Menyambut Pemilu 2024 Isu keterwakilan perempuan dalam politik masih menjadi topik perbincangan para penggiat kesetaraan gender dan pemerhati pemilu di Indonesia.

Sehingga menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini penting dan bagaimana representasi perempuan dalam politik Indonesia?

Berita terkait: Boissello mendorong partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan pemilu

Urgensi keterwakilan perempuan dalam politik

Undang-undang tersebut mengatur peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia.

Pasal 2 butir (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur bahwa partai politik harus beranggotakan 30 persen anggotanya pada pendiriannya.

Aturan lainnya, Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa daftar calon harus memiliki keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Selain itu, negara menerapkan sistem ritsleting yang diatur dalam Pasal 246 ayat (2) yang mengatur bahwa dalam daftar calon, harus ada sekurang-kurangnya satu perempuan untuk setiap tiga calon.

Kebijakan afirmasi gender tersebut tidak boleh menjadi retorika belaka. Menurut Agostiati, kehadiran perempuan dalam politik dapat melahirkan gagasan-gagasan politik yang transformatif.

Melalui perempuan, kebijakan pro-gender dapat dicapai. Ini karena wanita memiliki pengalaman unik yang tidak dimiliki pria, katanya.

Sebelumnya, Program Officer International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Rizka Antika menggemakan pernyataan tersebut. Dia mengatakan bahwa keragaman dalam politik memainkan peran sentral.

Kehadiran perempuan dalam proses pengambilan keputusan dianggap mampu menghentikan agenda dominasi maskulinitas dalam politik.

Oleh karena itu, perempuan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak hanya menjadi aktor deskriptif tetapi juga aktor intrinsik.

Lebih lanjut, peneliti dari Banten Institute for Governance Studies, Imron Wasi menjelaskan, kehadiran perempuan dalam proses pengambilan keputusan berguna untuk mengatasi kesenjangan akses, hak, dan peran perempuan.

Artinya keterwakilan perempuan dalam politik menjadi penting untuk mencapai demokrasi yang lebih inklusif.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menekankan pentingnya partisipasi dan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam politik melalui Sustainable Development Goals (SDGs). Dari tujuan tersebut, PBB telah menempatkan kesetaraan gender sebagai tujuan kelima.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mempromosikan partisipasi penuh dan efektif serta kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat proses pengambilan keputusan dalam politik, ekonomi dan masyarakat.

Hal ini dibuktikan dengan dua indikator: proporsi kursi yang diduduki perempuan di parlemen nasional dan pemerintah daerah serta proporsi perempuan dalam jabatan administratif.

arah keterwakilan perempuan

Melihat ke belakang, keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya di parlemen, menunjukkan tren yang positif.

Berdasarkan statistik Indonesia, jumlah kursi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berubah dari waktu ke waktu, namun jumlahnya cenderung meningkat.

Pada tahun 1955, ketika diadakan pemilihan umum pertama, jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR hanya 16 orang atau 5,88%.

Kemudian pada Pemilu 1971 dan 1977, jumlah anggota parlemen perempuan terus meningkat, yakni masing-masing 31 perempuan atau 6,74 persen dan 37 perempuan atau 8,04 persen.

Jumlah ini terus meningkat. Pada pemilu 1982, 42 perempuan atau 9,13 persen berhasil mendapatkan kursi di parlemen.

Lima tahun kemudian, keterwakilan perempuan di Republik Demokratik Kongo pada pemilu 1987 meningkat sebanyak 59 perempuan atau 11,80 persen.

Hingga Pemilu 1992 jumlah anggota dewan perempuan sebanyak 62 orang atau 12,40 persen. Angka ini menurun pada Pemilu 1997 dan 1999, namun meningkat lagi pada 2004 mencapai 65 orang atau 11,82 persen.

Keterwakilan perempuan terus meningkat selama pemilu 2009. Saat itu, jumlah perempuan di parlemen cukup luar biasa, mencapai 100 perempuan atau 17,86 persen.

Namun, jumlah itu turun menjadi 97 perempuan atau 17,32 persen selama Pemilu 2014.

Sementara itu, jumlah perempuan pada pemilu 2019 dikenal sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah pemilu di Indonesia.

Selama tahun itu, jumlah perempuan yang dipilih untuk Parlemen adalah 120 orang, dengan persentase 20,87 persen.

Kecenderungan keterwakilan perempuan yang meningkat ini tentunya merupakan prestasi yang bisa dibanggakan oleh Indonesia. Artinya, demokrasi Indonesia sedang bergerak ke arah yang lebih baik.

Masalah yang tersisa belum terselesaikan

Namun, masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan oleh banyak pihak. Berdasarkan persentase, jumlah perempuan di lembaga legislatif di Indonesia belum mencapai 30 persen sebagaimana diatur dalam kebijakan afirmatif.

Sebagai Direktur Eksekutif Perludem, Agustyati mengidentifikasi beberapa cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, antara lain melalui regulasi yang ada.

Menurut Agostiati, kebijakan positif yang digariskan dalam UU Pemilu tidak menjamin keterwakilan perempuan secara penuh.

Karena itu, dia mendorong regulasi yang lebih maju, seperti menghukum parpol yang tidak menganut kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan.

Selain itu, mengubah nomor seri filter juga dapat berpengaruh. Dari data yang dihimpun di lapangan, 60 persen caleg terpilih memiliki nomor urut 1, menurut Agostiati.

Sementara itu, calon perempuan jarang menempati urutan teratas dalam pemilihan umum. Dirasa perlu ada regulasi terkait status nomor urut ini.

Upaya yang tak kalah penting adalah dorongan dari partai politik. Sebagai gerbang partisipasi perempuan, partai politik harus memberikan akses dan pendampingan yang lebih setara kepada perempuan.

Ini melibatkan peningkatan kapasitas anggota perempuan serta menempatkan mereka pada posisi strategis.

Kebijakan afirmasi bagi perempuan diharapkan tidak menjadi formalitas belaka. Hal ini karena ada alasan mendasar mengapa perempuan harus hadir dan diberdayakan dalam ruang politik.

Pada akhirnya, keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia harus didorong untuk menciptakan dan memelihara demokrasi yang inklusif.

Berita terkait: Perempuan sebagai penyelenggara pemilu atasi persoalan pemilih perempuan: pakar
Berita terkait: Representasi politik perempuan dan kebijakan sensitif gender

Diterjemahkan oleh: Fateh Putra M, Fazli Ruhman
Editor: Sri Hariyati
Hak Cipta © Antara 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *