Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Korupsi, suatu kejahatan yang dilakukan ketika pejabat pemerintah menyalahgunakan dana negara untuk keuntungan pribadi, telah menjadi kejahatan luar biasa yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda di bangsa-bangsa di dunia.

Indonesia tidak luput dari kejahatan, karena kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan masyarakat biasa terus diekspos oleh penegak hukum dan diberitakan oleh media nasional.

Koordinator LSM Indonesia Corruption Watch, Adnan Tuban Hosodo mengatakan, sebagai persoalan multidimensi, perlu dilakukan langkah multiperspektif untuk memahami dan menyikapi persoalan korupsi.

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 memberikan secercah harapan baru dalam perjuangan antikorupsi di Indonesia dan mengantarkan babak baru era reformasi yang menjanjikan keadilan dan tindakan tegas terhadap kejahatan korupsi.

Komisi tersebut merupakan keturunan langsung dari KPKPN yang dibentuk sebelumnya, dengan tugas khusus memantau latar belakang kekayaan aparatur negara.

Selain KPKPN, pemerintah juga membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jangka Pendek (TGPTPK) pada tahun 2000 yang dibubarkan setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan judicial review atas legalitas tim gabungan tersebut.

KPK menjadi jelmaan terbaru dari komisi antikorupsi Indonesia, karena sejarah mencatat upaya para pemimpin sebelumnya dalam membentuk badan antikorupsi yang mencapai berbagai keberhasilan dalam misinya sebelum dibubarkan dan diganti dengan yang baru.

Sejarah KPK di Indonesia

Amalia Syukit, pakar hukum Universitas Bhayangkara Jakarta, menjelaskan dalam bukunya “Sejarah Komitmen Pemberantasan Korupsi di Indonesia” yang terbit tahun 2020, bahwa pemerintah Indonesia sebelumnya telah berupaya membentuk komisi antikorupsi sebagai bagian dari upaya mereka. pemberantasan korupsi di Indonesia.

Lembaga antikorupsi pertama di Indonesia didirikan dengan nama Komisi Pemberdayaan Organ Negara (Baran) pada tahun 1957 yang dipimpin oleh Jenderal A. Komisi mengalami kemunduran, karena pejabat pemerintah pada saat itu menentang upaya antikorupsi komisi.

Selanjutnya dibentuklah Papekan sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi kedua di Indonesia pada tahun 1959 dan diketuai oleh Hamengkubuwono IX. Komisi tersebut bertugas memantau dan mempelajari kegiatan aparatur negara dan mengusulkan pengawasannya kepada Presiden Sukarno. Itu dibubarkan pada Mei 1962 di tengah penyelidikan komisi atas pengaduan publik tentang dugaan korupsi selama pembangunan fasilitas olahraga untuk Asian Games 1962.

Setelah Papikan dibubarkan, pemerintah meluncurkan “Obrasi Bode” – awalnya diselenggarakan di bawah Badan Anti Korupsi Baran – pada tahun 1963 yang bertujuan untuk menyelidiki perusahaan yang diinvestasikan korupsi dan membawa kasus korupsi ke pengadilan. Operasi tersebut dipimpin oleh Jenderal A. Nasution berhasil mengucurkan dana Rp 11 miliar dari APBN. Misi itu berumur pendek, karena organisasi dibubarkan tiga bulan setelah pembentukannya.

Upaya terakhir Presiden Sukarno di Badan Pemberantasan Korupsi adalah Komando Tinggi untuk memperlengkapi kembali Aparat Revolusioner (Kotrar) pada tahun 1964 di bawah kepemimpinan langsung Presiden dan dengan bantuan Menteri Luar Negerinya, Soepandriu. Komisi kepresidenan dibekukan dan dibubarkan dengan berakhirnya pemerintahan Sukarno.

Dalam menilai empat komisi antikorupsi yang dibentuk pada masa kepresidenan Sukarno, Seokate menyimpulkan bahwa rapuhnya landasan hukum—empat komisi tersebut dibentuk dengan keputusan presiden—merupakan penyebab utama kelemahan komisi antikorupsi selama periode ini.

Dalam bukunya, Syauket lebih lanjut menguraikan lembaga antikorupsi yang didirikan Presiden Suharto selama 32 tahun pemerintahannya untuk melanjutkan upaya antikorupsi dari pemerintahan sebelumnya.

Setelah Kottar tumbang, Presiden Suharto menetapkan pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) di bawah arahan Kejaksaan Agung pada tahun 1967. Kinerja mengecewakan tim—yang seharusnya hanya menyasar kasus korupsi kecil yang dilakukan oleh aktor kecil—membubarkan tim.

Tim tersebut digantikan oleh Komite Empat, yang dibentuk pada awal 1970, dan mantan Perdana Menteri Willowboe termasuk di antara anggota komite. Komisi itu berumur lebih pendek daripada tim sebelumnya, karena pemerintah tiba-tiba membubarkan komisi pada Juli 1970.

Setelah lama absen dari sebuah lembaga, dengan tujuan khusus pemberantasan korupsi, Presiden Suharto meluncurkan “Pengaturan Obrasi” pada tahun 1997 untuk memantau dan menegur pungutan liar dan manipulasi anggaran di kantor-kantor pemerintah. Persepsi publik bahwa organisasi tersebut telah gagal untuk transparan dalam kegiatan sehari-hari menyebabkan proses tersebut tetap tenang sampai jatuhnya rezim baru.

Dengan jatuhnya rezim baru yang mengawali era reformasi, berbagai upaya dilakukan untuk menciptakan lembaga antikorupsi. Setelah kegagalan TGTPK dan pembentukan KPKPN, KPK didirikan pada tahun 2002, dan presiden berturut-turut terus menegaskan kembali komitmen mereka untuk mendukung dan membantu misi KPK.

Penanganan kasus korupsi di Indonesia

Terlepas dari sejarah panjang komisi antikorupsi di Indonesia dan konsolidasi KPK saat ini, kasus korupsi masih merajalela di negara ini. Maka tak heran jika sebagian warga mempertanyakan efektivitas lembaga antikorupsi dan komitmen pemerintah terhadap upaya antikorupsi.

Untuk itu, Hosodo melihat maraknya kasus korupsi di Indonesia sebagian besar terjadi pada pimpinan puncak yang telah turun ke tingkat bawah, sehingga semakin banyak kasus korupsi yang melibatkan bawahan dan sektor masyarakat lainnya.

Dia menyoroti perlunya lembaga antikorupsi independen untuk menangani kasus korupsi dan menyelidiki kejahatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan tokoh lainnya.

Meski kehadiran KPK telah berkontribusi dalam penguatan penegakan hukum dan penyidikan kasus korupsi di Indonesia, aktivis tersebut meyakini bahwa komitmen pemerintah yang jelas dan partisipasi aktif masyarakat sangat penting bagi upaya antikorupsi yang komprehensif.

Senada dengan Hosodo, pakar administrasi publik di Universitas Wisatawan Kuala, Wes Al-Qarni, mengatakan upaya pemberantasan korupsi harus memiliki pendekatan multi-level yang mencakup berbagai sektor masyarakat.

Pakar menyarankan untuk memaksimalkan pendidikan antikorupsi, memperkuat pemantauan dan audit internal pemerintah, memungkinkan publik mengakses data keuangan pemerintah, serta mendorong partisipasi publik dalam memantau kegiatan pemerintah dan memperkuat pesan antikorupsi.

Kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah tentu akan memudahkan upaya menjawab tantangan pemberantasan korupsi yang merajalela di Indonesia.

Berita terkait: Indonesia buat database pencegahan korupsi untuk penerima bantuan
Berita terkait: KPK buka kerjasama dengan IM57+ Institute
Berita terkait: Penegak hukum harus transparan dalam menjalankan tugasnya: Mahfouz

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *